SUKABUMIKITA.ID – Kota Sukabumi mencatat inflasi tahunan (year-on-year/yoy) sebesar 3,54 persen pada Agustus 2025. Angka ini menjadi yang tertinggi di Jawa Barat, menurut rilis Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Sukabumi. Sebagai perbandingan, inflasi terendah terjadi di Kabupaten Bandung dengan catatan hanya 1,46 persen.
Kepala BPS Kota Sukabumi, Dani Jaelani, menjelaskan bahwa inflasi dipicu oleh kenaikan harga pada sebagian besar kelompok pengeluaran. “Kelompok dengan inflasi tertinggi adalah perawatan pribadi dan jasa lainnya sebesar 9,67 persen, disusul pendidikan 5,5 persen, makanan, minuman dan tembakau 6,02 persen, serta rekreasi, olahraga, dan budaya 4,03 persen,” terang Dani, Selasa (09/09/2025).
Penyumbang Utama Inflasi
Sejumlah komoditas yang dominan mendorong inflasi di antaranya emas perhiasan, beras, kopi bubuk, rokok, bawang merah, minyak goreng, hingga biaya pendidikan perguruan tinggi. “Emas perhiasan menjadi penyumbang terbesar, disusul kebutuhan pangan dan biaya sekolah,” tambah Dani.
Meski begitu, Kota Sukabumi mencatat deflasi bulanan (month-to-month) sebesar 0,06 persen pada Agustus 2025. Penurunan harga tomat, cabai rawit, ikan asin, daging sapi, dan telepon seluler menjadi faktor utama.
Jika dibandingkan dengan tahun lalu, inflasi Sukabumi melonjak signifikan. Pada Agustus 2024 inflasi hanya sebesar 1,83 persen, artinya tekanan harga tahun ini jauh lebih tinggi. “Sejak Januari hingga Agustus 2025, Kota Sukabumi menjadi kota kecil dengan inflasi tertinggi di Jawa Barat,” jelas Dani.
Analisis Ekonomi: Masalah Struktural
Ahli Ekonomi sekaligus Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI), Ade Sudarma, menilai tingginya inflasi di Sukabumi tidak bisa hanya diatasi dengan operasi pasar murah.
“Inflasi yang konsisten tinggi menunjukkan ketidakseimbangan antara supply dan demand. Pasokan barang dan jasa, terutama pangan, tidak mencukupi permintaan, sementara biaya produksi dan distribusi naik signifikan,” jelas Ade.
Menurutnya, kondisi ini berdampak langsung pada penurunan kesejahteraan masyarakat, terutama rumah tangga berpendapatan rendah. Daya beli melemah, kualitas hidup menurun, sementara UMKM dan sektor informal kesulitan menaikkan harga jual di tengah beban biaya produksi.
“Dari sisi makro, inflasi yang tidak terkendali bisa membuat investasi kurang menarik, stabilitas harga terganggu, dan risiko ketimpangan semakin besar. Jika dibiarkan, Sukabumi bisa mengalami stagflasi lokal,” katanya.
Rekomendasi Penanganan Inflasi
Ade menegaskan perlunya langkah strategis dan multisektor. Pemerintah daerah tidak cukup hanya mengandalkan operasi pasar, melainkan juga harus memperkuat rantai pasok, menambah cadangan pangan lokal, memperluas akses pasar produsen lokal, serta memperketat pengawasan harga secara real time.
“Selain itu, bantuan sosial tunai atau subsidi bersasar juga dibutuhkan agar beban masyarakat bisa berkurang. Inflasi harus dilihat sebagai peringatan ekonomi. Jika ditangani secara parsial, persoalan ini akan terus berulang,” pungkasnya. (Cr5)
Komentar