oleh

Belajar dari Komunitas Adat: Baduy Luar dan Pergulatan Bahasa Lokal di Tengah Modernisasi

-ARTIKEL-3015 Dilihat
banner 468x60

SUKABUMIKITA.ID Pergeseran dan pemertahanan bahasa yang dialami komunitas suku adat Baduy Luar akibat derasnya arus teknologi dan pariwisata ternyata bukanlah fenomena yang berdiri sendiri. Berbagai komunitas adat di Indonesia, bahkan dunia, tengah menghadapi dinamika serupa dalam mempertahankan bahasa leluhur di tengah dominasi bahasa nasional maupun global.

Kajian akademik dalam sepuluh tahun terakhir menunjukkan pola yang mirip: komunitas adat berjuang menjaga bahasa ibu melalui berbagai strategi, mulai dari memperkuat komunikasi keluarga, menumbuhkan rasa bangga budaya, hingga membatasi pengaruh luar. Dari perbandingan kasus Baduy Luar dengan beberapa komunitas lain, seperti Dayak Kenyah di Kalimantan Timur, Ammatoa Kajang di Sulawesi Selatan, hingga inisiatif revitalisasi Dayak Hibun di Kalimantan Barat, tampak bahwa setiap kelompok memiliki pendekatan berbeda sesuai konteks sosial dan budaya masing-masing.

banner 336x280

Dayak Kenyah: Identitas yang Bertahan di Kota Multibahasa

Komunitas Dayak Kenyah, khususnya yang bermukim di Kota Samarinda, Kalimantan Timur, menghadirkan contoh menarik dalam pemertahanan bahasa. Meski tinggal di lingkungan perkotaan yang sangat multilingual, dominasi bahasa Indonesia tidak serta-merta memudarkan bahasa Kenyah.

Hasil penelitian Anjani (2024) menunjukkan bahwa keluarga menjadi benteng utama dalam menjaga bahasa leluhur. Orang tua Dayak Kenyah tetap konsisten menggunakan bahasa ibu dalam komunikasi sehari-hari di rumah. Hal ini menciptakan ikatan emosional yang kuat antara anak dan bahasa Kenyah, sehingga meski berpendidikan tinggi, generasi mudanya tetap fasih dan bangga menggunakannya.

Tiga pilar utama pemertahanan bahasa Kenyah berhasil diidentifikasi, yakni keluarga, pergaulan sebaya internal, dan intensitas penggunaan. Di Samarinda, komunitas Kenyah membentuk ruang-ruang komunikasi khusus atau micro domains di mana interaksi sehari-hari masih dilakukan dengan bahasa Kenyah. Kesadaran kolektif bahwa bahasa adalah warisan berharga menjadi faktor penentu keberlangsungan ini.

Situasi ini dapat menjadi pelajaran bagi komunitas Baduy Luar. Dengan keterbukaan pada pendidikan dan teknologi, pemertahanan bahasa tetap mungkin dilakukan asalkan keluarga menanamkan kebanggaan dan menjaga penggunaan bahasa ibu secara konsisten.

Ammatoa Kajang: Dua Wajah dalam Menjaga Bahasa

Komunitas Ammatoa Kajang di Bulukumba, Sulawesi Selatan, memiliki dinamika yang serupa dengan Baduy. Mereka terbagi menjadi Kajang Dalam, yang sangat tradisional, dan Kajang Luar, yang lebih terbuka pada modernisasi.

Kajang Dalam terkenal dengan aturan ketat: tanpa listrik, tanpa pakaian modern, dan mempertahankan komunikasi dengan bahasa Konjo murni. Situasi ini sebanding dengan Baduy Dalam yang menolak intervensi luar, sehingga bahasanya relatif terjaga dalam bentuk asli. Namun, jumlah penutur terbatas pada komunitas inti yang kecil.

Berbeda halnya dengan Kajang Luar yang menerima modernisasi, sekolah formal, hingga interaksi dengan masyarakat luas. Kondisi ini memperbesar jumlah penutur, tetapi bahasa Konjo yang digunakan cenderung mengalami adaptasi, baik dari sisi kosakata maupun ranah penggunaannya.

Fenomena ini menunjukkan adanya dilema. Komunitas tertutup memang dapat menjaga bahasa dalam bentuk murni, tetapi rawan kepunahan karena jumlah penutur minim. Sebaliknya, komunitas terbuka menghasilkan lebih banyak penutur muda, meski bahasa mengalami pergeseran dan perubahan.

Pelajaran bagi Baduy Luar

Perbandingan kasus Dayak Kenyah dan Ammatoa Kajang memberikan perspektif baru bagi dinamika Baduy Luar. Di satu sisi, ada model pemertahanan bahasa melalui kesadaran kolektif dan praktik intensif di lingkungan perkotaan seperti yang dilakukan Kenyah. Di sisi lain, ada strategi mempertahankan kemurnian bahasa melalui isolasi, seperti Kajang Dalam.

Baduy Luar berada di tengah situasi ini. Mereka terbuka terhadap pendidikan dan interaksi luar, namun tetap memiliki konsentrasi komunitas yang memungkinkan komunikasi intensif dalam bahasa daerah. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana tetap menjaga kebanggaan dan konsistensi penggunaan bahasa Baduy di tengah arus pariwisata dan teknologi digital.

Dengan belajar dari pengalaman komunitas adat lain, Baduy Luar dapat merumuskan strategi pemertahanan bahasa yang tidak hanya melestarikan warisan leluhur, tetapi juga relevan dengan perkembangan zaman. (***)


Penulis: Sri Rahayu, S.Pd, M.Pd

banner 336x280

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *